Kamis, 18 November 2010

Danau Toba Kritis

Kondisi Danau Toba, Sumatra Utara, semakin kritis. Bayangkan, dari luas 260 ribu hektare, sekitar 100 ribu hektare sudah rusak ekosistemnya. Banyak sampah yang dibuang masyarakat dan turis ke danau ini. Budidaya ikan yang dulu dilakukan secara tradisional, kini bergeser menjadi jutaan keramba yang mengotori danau.

Berawal dari perkawanan di situs jejaring sosial Facebook, kegundahan rusaknya eksosistem Danau Toba diungkapkan 12 ribu anggota Save Lake Toba Community. Kini, langkah nyata untuk mengembalikan keindahan danau terbesar di Asia tenggara itu seperti sediakala tengah ditunggu.


Save Lake TOBA

Mereka Cinta Tongging

               Menjelajahi Tongging ibarat mengunjungi sebuah negeri impian. Ya.., demikianlah adanya yang tertangkap mata jika memasuki desa kecil yang terletak di sebelah utara Danau Toba ini. Tongging, selain dikaruniai tanah yang subur, juga dianugerahi panorama alam nan mempesona.
Jika Anda bukan warga Desa Tongging, maka Anda tak boleh sembarangan memasuki kawasan Tongging dan sekitarnya. Terlebih dulu Anda harus membayar tarif masuk yang telah disesuaikan. Alasannya, selain sebagai tempat pemukiman penduduk, Tongging juga merupakan salah satu objek wisata andalan Kabupaten Karo. Desa Tongging telah disejajarkan dengan objek wisata Air Terjun Sipiso-piso, yang letaknya tak berjauhan tapi masih terletak dalam satu kawasan yang berada di Kecamatan Merek itu.
Wajar, panorama alam di kawasan Tongging memang berbeda dengan daerah lain di Kabupaten Karo atau bahkan di kabupaten lainnya. Yang membuat desa dengan penghuni 400 kepala keluarga ini menarik, sebenarnya terletak pada pada lokasinya yang strategis. Berada di tepi Danau Toba, dengan jejeran perbukitan sehingga menarik minat orang yang pernah mengunjunginya untuk menetap di sana.
Konon, Tongging tak kalah menariknya dengan Tomok atau Penisula Tuktuk Siadong di Kabupaten Samosir. Itulah Danau Toba, keindahan dan kekayaan yang menjadi potensi di dalamnya bukan hanya dapat dinikmati penduduk Samosir, Simalungun, Humbahas atau pun Tobasa saja. Akan tetapi, kawasan yang dikenal secara geografis merupakan kawasan dataran tinggi Karo sekalipun, dapat mereguk untung dari danau terbesar di Asia itu.
               Hanya saja, terdapat perbedaan antara Tongging dengan objek wisata lainnya yang membuat Tongging masih belum menggeliat seperti apa yang pernah dialami Tomok atau Tuktuk. Di antaranya adalah selain minimnya akses transportasi (terbatas hanya melalui jalan darat lintas Karo-Merek-Tongging), juga dkarenakan minimnya objek sejarah dan budaya yang dapat menjadi pendukung nilai wisata serta daya tarik tersendiri. Meskipun adanya, peninggalan sejarah Raja-raja Silalahi misalnya, akses menuju ke lokasi masih tergolong sulit dan peninggalan itu kurang dikelola.
Tongging View
                Sayangnya, meski sudah ditetapkan menjadi kawasan wisata, hingga kini arus transportasi menuju Tongging hanya dapat ditempuh melalui jalan darat saja. Tongging dapat dicapai setelah menempuh perjalanan dari simpang tiga (sebelah kiri) Kecamatan Merek lalu kemudian tiba di Sipiso-piso hingga akhirnya menuruni jalanan beraspal menuruni perbukitan Gunung Sipiso-piso yang curam.
Tapi, meski demikian perjalanan dari sini merupakan nilai tersendiri karena pemandangan alam yang indah akan mewarnai perjalanan. Dari kejauhan ini Tongging akan terlihat seperti negeri yang terisolasi dari daerah lainnya. Ia tenang dan sepertinya jauh dari hiruk pikuk kebisingan serta carut-marut keramaian.
Akses menuju Tongging sebenarnya akan lebih mudah dicapai jika seandainya tersedia kapal-kapal penumpang yang mengangkut wisatawan dari Parapat, Samosir atau daerah lainya yang bertepian dengan kawasan indah Danau Toba. Maka sejak tiga tahun terakhir, Dinas Perhubungan telah mendirikan pelabuhan Tongging yang nantinya difungsikan untuk merangsang munculnya pengusaha-pengusaha swata yang ingin bergerak di bidang transportasi danau itu.
               Silalahi, salah satu warga Desa Tongging mengatakan, bukan hanya akses transportasi yang membuat Tongging masih belum mampu menunjukkan taringnya hingga kini. Masalahnya, hingga kini belum ada sarana hiburan dan lokasi penginapan yang strategis. “Sebuah objek wisata seharusnya dilengkapi dengan fasilitas yang juga memadai,” katanya.
                   Tapi lagi-lagi hal itu belum tercapai. Tentu saja pencapaian semacam itu membutuhkan terobosan besar dengan modal besar, yang hingga kini masih belum menunjukkan tanda-tanda. Penginapan yang ada di Tongging masih bertaraf biasa saja, sedang fasilitas lainnya seperti cafe dan restoran, ataupun fasilitas hiburan lainnya masih minim sekali.
                    Padahal, keindahan Tongging tak kalah menarik jika seadandainya di tepi-tepi pinggiran danau sekitar desa dilengkapi sarana hiburan, penginapan juga dilengkapi dengan lampu-lampu semarak menambahi indahnya panoramanya sehingga menarik minta para wisatawan untuk datang berkunjung, tambah Silalahi.
Meski pelabuhan sudah berdiri, tetapi nampaknya langkah itu pun belum menunjukkan efek yang signifikan. Pasalnya, hingga kini belum ada juga pihak swasta yang memulai dan memanfaatkannya. “Untuk saat ini mungkin belum bisa menggeliat, tapi 10 tahun ke depan saya yakin,” ujar Boru Sinurat, salah satu pedagang di penggiran danau, berkomentar soal rencana pemerintah untuk merelokasi kawasan pinggiran danau untuk menjadi sarana khusus pariwisata.
                Diperkirakan, ke depan seluruh kawasan pinggiran Tongging akan direnovasi dengan memfokuskan areanya menjadi kawasan wisata. Sedang penduduk yang sempat bermukim di sekitar lokasi akan digeser. Meski kedengaran mustahil, tapi setidaknya rencana itu disetujui oleh sebagian masyarakat.
“Saya yakin, jika pemerintah memang serius, masyarakat pasti setuju pindah. Selain itu, asalkan nantinya pemerintah juga memberikan ganti rugi penggeseran areal yang sesuai,” ujar Silalahi. “Kenapa tidak, yang untung kan pasti masyarakat Tongging,”
                Keunikan lain Tongging ialah dikarenakan ia berada tepat di tengah-tengah daerah yang didiami tiga suku, yakni Batak Toba, Pakpak maupun Karo yang bercampur baur menjadi satu. Maka tak heran jika penduduk Tongging sudah lazim menguasai tiga bahasa sekaligus dan mampu menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari.
                Perpaduan ketiga budaya yang berbeda dan dapat hidup secara akrab ini juga dapat terlihat dari berbaurnya bahasa yang digunakan sehari-hari. Lazimnya penduduk setempat berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata yang dikutip dari ketiga kultur yang berbeda itu.
Kehidupan di Tongging secara umum hingga kini dapat bertahan dikarenakan potensinya yang mencukupi atau bahkan melimpah. Bayangkan, keramba-keramba ikan emas, nila atau mujahir milik penduduk mampu mencukupi kebutuhan ikan di sekitar daerah Karo, Dairi dan sekitarnya. Meski Desa tetangganya (Haranggaol, Kabupaten Simalungun) juga dikenal sebagai produsen ikan sejenis. Belum lagi penghasilan dari pertanian seperti sayur-sayuran berupa cabai, tomat, bawang dan aneka sayuran lainnya, yang menjadi mata pencaharian utama penduduk.
              Sekali dalam seminggu, tepatnya pada Jumat, berlangsung pekan besar. Biasanya, Desa Tongging akan ramai bertransaksi dagang. Penduduk-penduduk tetangga sebelah juga akan datang, seperti dari Desa Sibolangit, Soping dan Bage misalnya, yang datang dengan menaiki kapal kecil milik sendiri.
Tongging terus bergerak maju sering waktu berjalan. Demikian juga penghuninya yang semakin betah mendiaminya. “Ya, Tongging memang tempat tinggal yang nyaman. Saya suka tinggal di sini,” ujar Boru Sinurat tersenyum.

Melihat Batu Gantung

Alkisah, di sada huta terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni.
Selain rupawan, Seruni juga sangat rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Suatu hari, Seruni pergi ke ladang seorang diri, karena kedua orang tuanya ada keperluan di desa tetangga. Seruni hanya ditemani oleh seekor anjing kesayangannya bernama si Toki. Sesampainya di ladang, gadis itu tidak bekerja, tetapi ia hanya duduk merenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba. Sepertinya ia sedang menghadapi masalah yang sulit dipecahkannya. Sementara anjingnya, si Toki, ikut duduk di sebelahnya sambil menatap wajah Seruni seakan mengetahui apa yang dipikirkan majikannya itu. Sekali-sekali anjing itu menggonggong untuk mengalihkan perhatian sang majikan, namun sang majikan tetap saja usik dengan lamunannya.

Memang beberapa hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia sangat sedih, karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara dengan seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia. Ia sangat bingung. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, dan di sisi lain ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya. Oleh karena merasa tidak sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus asa.

“Ya, Tuhan! Hamba sudah tidak sanggup hidup dengan beban ini,” keluh Seruni.

Beberapa saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya. Dengan berderai air mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya gadis itu ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam itu. Sementara si Toki, mengikuti majikannya dari belakang sambil menggonggong.

Dengan pikiran yang terus berkecamuk, Seruni berjalan ke arah tebing Danau Toba tanpa memerhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa diduga, tiba-tiba ia terperosok ke dalam lubang batu yang besar hingga masuk jauh ke dasar lubang. Batu cadas yang hitam itu membuat suasana di dalam lubang itu semakin gelap. Gadis cantik itu sangat ketakutan. Di dasar lubang yang gelap, ia merasakan dinding-dinding batu cadas itu bergerak merapat hendak menghimpitnya.

“Tolooooggg……! Tolooooggg……! Toloong aku, Toki!” terdengar suara Seruni meminta tolong kepada anjing kesayangannya.

Si Toki mengerti jika majikannya membutuhkan pertolongannya, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menggonggong di mulut lubang. Beberapa kali Seruni berteriak meminta tolong, namun si Toki benar-benar tidak mampu menolongnnya. Akhirnya gadis itu semakin putus asa.

“Ah, lebih baik aku mati saja daripada lama hidup menderita,” pasrah Seruni.

Dinding-dinding batu cadas itu bergerak semakin merapat.

“Parapat[2]… ! Parapat batu… Parapat!” seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit tubuhnya..

Sementara si Toki yang mengetahui majikannya terancam bahaya terus menggonggong di mulut lubang. Merasa tidak mampu menolong sang majikan, ia pun segera berlari pulang ke rumah untuk meminta bantuan.

Sesampai di rumah majikannya, si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan baru datang dari desa tetangga berjalan menuju rumahnya.

“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki menggonggong sambil mencakar-cakar tanah untuk memberitahukan kepada kedua orang tua itu bahwa Seruni dalam keadaan bahaya.

“Toki…, mana Seruni? Apa yang terjadi dengannya?” tanya ayah Seruni kepada anjing itu.

“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki terus menggonggong berlari mondar-mandir mengajak mereka ke suatu tempat.

“Pak, sepertinya Seruni dalam keadaan bahaya,” sahut ibu Seruni.

“Ibu benar. Si Toki mengajak kita untuk mengikutinya,” kata ayah Seruni.

“Tapi hari sudah gelap, Pak. Bagaimana kita ke sana?” kata ibu Seruni.

“Ibu siapkan obor! Aku akan mencari bantuan ke tetangga,” seru sang ayah.

Tak lama kemudian, seluruh tetangga telah berkumpul di halaman rumah ayah Seruni sambil membawa obor. Setelah itu mereka mengikuti si Toki ke tempat kejadian. Sesampainya mereka di ladang, si Toki langsung menuju ke arah mulut lubang itu. Kemudian ia menggonggong sambil mengulur-ulurkan mulutnya ke dalam lubang untuk memberitahukan kepada warga bahwa Seruni berada di dasar lubang itu.

Kedua orang tua Seruni segera mendekati mulut lubang. Alangkah terkejutnya ketika mereka melihat ada lubang batu yang cukup besar di pinggir ladang mereka. Di dalam lubang itu terdengar sayup-sayup suara seorang wanita: “Parapat… ! Parapat batu… Parapat!”

“Pak, dengar suara itu! Itukan suara anak kita! seru ibu Seruni panik.

“Benar, bu! Itu suara Seruni!” jawab sang ayah ikut panik.

“Tapi, kenapa dia berteriak: parapat, parapatlah batu?” tanya sang ibu.

“Entahlah, bu! Sepertinya ada yang tidak beres di dalam sana,” jawab sang ayah cemas.

Pak Tani itu berusaha menerangi lubang itu dengan obornya, namun dasar lubang itu sangat dalam sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya obor.

“Seruniii…! Seruniii… !” teriak ayah Seruni.

“Seruni…anakku! Ini ibu dan ayahmu datang untuk menolongmu!” sang ibu ikut berteriak.

Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu itu merapat untuk menghimpitnya.

“Parapat… ! Parapatlah batu… ! Parapatlah!”

“Seruniiii… anakku!” sekali lagi ibu Seruni berteriak sambil menangis histeris.

Warga yang hadir di tempat itu berusaha untuk membantu. Salah seorang warga mengulurkan seutastampar (tali) sampai ke dasar lubang, namun tampar itu tidak tersentuh sama sekali. Ayah Seruni semakin khawatir dengan keadaan anaknya. Ia pun memutuskan untuk menyusul putrinya terjun ke dalam lubang batu.

“Bu, pegang obor ini!” perintah sang ayah.

“Ayah mau ke mana?” tanya sang ibu.

“Aku mau menyusul Seruni ke dalam lubang,” jawabnya tegas.

“Jangan ayah, sangat berbahaya!” cegah sang ibu.

“Benar pak, lubang itu sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang warga.

Akhirnya ayah Seruni mengurungkan niatnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak kiamat. Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir Danau Toba pun berguguran. Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh warga berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan mulut lubang batu, sehingga Seruni yang malang itu tidak dapat diselamatkan dari himpitan batu cadas.

Beberapa saat setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit batucadas di dalam lubang. Oleh mereka batu itu kemudian diberi nama “Batu Gantung”.

Beberapa hari kemudian, tersiarlah berita tentang peristiwa yang menimpa gadis itu. Para warga berbondong-bondong ke tempat kejadian untuk melihat “Batu Gantung” itu. Warga yang menyaksikan peristiwa itu menceritakan kepada warga lainnya bahwa sebelum lubang itu tertutup, terdengar suara: “Parapat… parapat batu… parapatlah!”

Oleh karena kata “parapat” sering diucapkan orang dan banyak yang menceritakannya, maka Pekan yang berada di tepi Danau Toba itu kemudian diberi nama “Parapat”. Parapat kini menjadi sebuah kota kecil salah satu tujuan wisata yang sangat menarik di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

Ajibata menjelang malam

Ajibata adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Indonesia. Kecamatan Ajibata dibentuk seiring dengan pembentukan Kabupaten Toba Samosir sebagai hasil pemekaran Kabupaten Tapanuli Utara. Kecamatan ini meliputi Desa Pardamean, Desa Parsaoran, Desa Motung, Desa Lumban Sirait dan Desa Lumban Gurning. Sebelumnya Ajibata termasuk dalam Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Tapanuli Utara. Sebelum menjadi Kecamatan sendiri, Ajibata adalah Pembantu Kecamatan Lumban Julu.

Ajibata View
Ajibata adalah salah satu pelabuhan menuju Pulau Samosir selain Balige. Di Ajibata ada dua pelabuhan; reguler (untuk kapal-kapal kayu tradisional pengangkut penumpang) dan pelabuhan ferry yang menyeberangkan mobil, barang dan orang dari dan ke Pulau Samosir.

Ajibata bersama-sama dengan Parapat dan Tigaraja adalah salah satu tuan rumah penyelengaraan pesta danau toba. Uniknya, walupun Parapat dan Tigaraja berada di Kabupaten yang berbeda (Simalungun), sebagian fasilitas pelayanan umum masyarakat sepeti pos, PLN, Telkom dan PAM bersumber dari Parapat, sehingga bagi orang Ajibata mereka merasa bagian dari Parapat.

Mayoritas penduduk Ajibata beragama Kristen Protestan, mayoritas dari mereka tergabung dalam Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Kristen Protestan Batak terbesar. Sebagian Katolik Roma dan sisanya Islam dan Dinamisme (sipele begu). Suku terbesar tentu saja Batak Toba, pendatang ada dari Batak Karo, Simalungun sebagian kecil lagi Jawa.

Mayoritas penduduknya hidup dari bertani, sebagian dari berdagang, pekerja hotel dan sektor pariwisata lainnya. Sepuluh tahun terakhir perkembangan Ajibata menjadi sebuah wilayah Kota baru cukup pesat. Contohnya semakin bertambahnya tempat - tempat usaha baru dan semakin banyaknya pendatang baik dari luar Sumatera Utara maupun dari dalam Sumatera Utara. Sementara generasi muda asli Ajibata sebagaimana masyarakat Batak pada umumnya sebagian besar merantau ke Jawa maupun wilayah lain di Indonesia.

Sebagian syuting Film Secangkir Kopi Pahit (garapan sutradara Teguh Karya) dan sinetron Pariban dari Bandung (sutradara Edward Pesta Sirait) dilakukan di Ajibata yang memiliki pantai yang indah.